Senin, 02 April 2012

contoh makalah hukum internasional

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Hak-hak tersebut melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Hak asasi manusia adalah unsur yang amat penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengenai pelaksanaannya, baik hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat seseorang atau sekelompok orang sebagai manusia. (Rhona K. M. Smith., dkk, 2008: 11)
Hak asasi manusia memang merupakan unsur yang amat penting yang pelaksanaannya harus dilakukan baik oleh masyarakat sendiri ataupun oleh pemerintah atau Negara, tapi dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.
Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar tehadap perdamaian, keamanan dan stabilitas Negara. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, tetapi pelanggaran tersebut juga bisa dilakukan oleh Negara mapun melalui aparat Negara atau pemerintahnya, biasanya pelanggaran oleh Negara sering mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.
Permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bukanlah suatu hal yang baru. Sejak Peradilan Nuremberg 1946 dan Peradilan Tokyo telah jelas bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor Negara atau pejabat Negara yang terbukti kesalahannya pun dapat ditindak dan diadili melalui pengadilan.
Dewasa ini permasalahan pelanggaran HAM berat bukanlah tidak ada terbukti dengan adanya Kasus pemimpin Libya Muammar Khadafi beserta putranya Saif Al-Islam yang dianggap telah melakukan pelanggaran HAM  berat di  Negara tersebut. Kalangan internasional bereaksi keras dan mengecam tindakan yang telah mereka lakukan dan ingin mengadili mereka.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk membahas kasus Saif Al-Islam Khadafi ini dalam makalah kami yang berjudul:
“Tinjauan Kasus Pelanggaran HAM Berat oleh Saif Al-Islam Khadafi berdasarkan Ketentuan Hukum Internasional”
I.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah pasti mendasarkan pada rumusan masalah, dalam makalah ini rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana mekanisme monitoring dan penegakan HAM dan prakteknya pada kasus Shaif Al-Islam Khadafi?
I.3. Batasan Masalah
Dalam makalah ini, penulis membatasi bahasan masalah hanya sebatas:
Mekanisme monitoring dan penegakan HAM dan prakteknya pada kasus Shaif Al-Islam Khadafi
I.4. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
Mendeskripsikan mekanisme monitoring HAM dan prakteknya di Libia oleh Shaif Al-Islam Khadafi.







BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Pelanggaran HAM Berat
Suatu kejahatan atau pelanggaran HAM berat harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act of commission) ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang semestinya harus dicegah, yang secara sistematis dan menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut yang luar biasa.
Menurut konvensi internasional yang dibuat oleh organisasi Negara-negara Asia Selatan, ciri kejahatan HAM berat dapat dikaitkan dengan ancaman yang ditimbulkan, misalnya: pembunuhan, pembantaian manusia, penyerangan yang menyebabkan bahaya terhadap jiwa dan raga, penculikan, penyanderaan, dan pelangggaran terkait dengan senjata api, bahan peledak, ancaman hilangnya harta kekayaan dan benda-benda immateriil lainnya.
II.2. Jenis-jenis Pelanggaran HAM Berat menurut Statuta Roma 1998







BAB III
PEMBAHASAN
III.1.  Mekanisme Monitoring dan Penegakan HAM dan Prakteknya Pada Kasus Saif Al-Islam di Libya.
Mekanisme monitoring dan penegakan HAM dibedakan atas mekanisme yang berdasarkan pada perjanjian hak asasi manusia internasional (treaty based) dan piagam PBB (charter based).
1. Treaty based mechanisme.
Seperti namanya, mekanisme ini adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM internasional. Seperti diketahui perjanjian internasional mengikat negara-negara dan berlaku ketika sejumlah negara yang menandatanganinya telah meratifikasi perjanjian tersebut.
Pada umumnya terdapat empat (4) mekanisme utama pengaduan dan monitoring terhadap
penerapan hak asasi manusia berdasarkan perjanjian HAM internasional (treaty based), yaitu:
a.       Mekanisme pelaporan
Mekanisme ini dibangun oleh badan/komite bersangkutan untuk memantau kemajuan penerapan kewajiban Negara sebagaimana tertera dalam perjanjian. Hal ini dilakukan melalui berbagai laporan yang wajib disampaikan oleh Negara dalam periode tertentu pada Komite bersangkutan. Komite melakukan penilaian atas laporan yang dibuat oleh negara dan mengajukan sejumlah pertanyaan klarifikasi. Setelah itu Komite membuat kesimpulan dan rekomendasi.
b.      Mekanisme Pengaduan Individual
Beberapa konvensi, yaitu ICCPR, CAT, CERD, dan MWC memberi wewenang pada Komite untuk menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan secara individual. Mekanisme ini berhubungan dengan pengaduan dari individu atau kelompok yang percaya bahwa hak-hak asasinya telah dilanggar.
c.       Pengaduan antar Negara
Pengaduan dilakukan oleh Negara pihak terhadap Negara pihak lainnya yang dianggap melanggara kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Negara yang menerima komunikasi wajib memberi tanggapan, jika tidak Negara pengadu dapat membawa masalah ini kepada badan perjanjan yang berwenang. Badan itu kemudian mencari pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak.
d.       Mekanisme Investigasi
Mekanisme yang hanya ada pada dua konvensi HAM yaitu CEDAW dan CAT, memberi wewenang pada komite untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran hak asasi – dengan syarat pelanggaran tersebut bersifat berat atau sistematis.

2. Charter based mechanism
Charter based mechanism adalah prosedur penegakan hak asasi manusia yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan piagam PBB itu sendiri. Basis legalnya adalah pasal 55 dan 56 dari Piagam PBB serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial.
Mekanisme ini dilakukan melalui:
a.       Komisi HAM PBB
Boleh dikatakan dalam keseluruhan prosedur ini, Kantor Komisi HAM PBB, yang terletak di Geneva menjadi jantungnya. Komisi HAM PBB setelah selesai melakukan tugasnya merumuskan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan dua Kovenan Internasional HAM, sejak 1967 diberi mandat oleh ECOSOC untuk menangani pengaduan-pengaduan pelanggaran hak asasi. Komisi harus melaporkan hasilnya langsung pada ECOSOC.
b.      Sub Komisi HAM
Disamping Komisi HAM PBB dibentuk pula Sub Komisi HAM PBB yang sejak 1998 menjadi ’think tank’ dari Komisi HAM PBB. Komisi ini merupakan badan utama yang menangani masalah hak asasi dan hal lain yang berhubungan dengan hak asasi. Komisi terdiri dari 43 negara anggota yang dipilih untuk masa 3 tahun berdasar kelompok regional dengan fungsi utama: membangun standar hak asasi (standard setting), melakukan monitoring atas penegakan standar hak asasi manusia internasional dan melakukan kerjasama internasional untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi. Termasuk di dalamnya penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi, penanganan pengaduan (komunikasi) yang berhubungan dengan pelanggaran tersebut, dan mengkoordinasi kegiatan yang berhubngan dengan hak asasi manusia dalam sistem PBB.
c.       Mekanisme tematis dan Negara
Mekanisme yang dibentuk oleh Komisi HAM PBB untuk menyelediki masalah hak asasi manusia berdasarkan isu hak asasi tertentu (misalnya hak kebebasan berekspresi) atau negara tertentu. Pada mekanisme ini Komisi HAM PBB dan Sub Komisinya dapat menugaskan ahli atau sekelompok ahli tertentu untuk melakukan investigasi atas isu HAM tertentu (misalnya penyiksaan) pada sebuah negara tertentu. Biasanya mereka dibentuk dalam wujud Pelapor Khusus atau Kelompok Kerja. Tugas mereka bisa pada tema-tema HAM tertentu tapi juga negara tertentu.  Dalam mekanisme tematis ini mereka dapat bertindak langsung atas pelanggaran HAM yang terjadi selambatnya 3 x 24 jam dari peristiwa tersebut. Mereka kemudian akan menyelidiki kasus (melakukan verifikasi pada pelapor dan pemerintah). Untuk itu mereka akan mengirim nota keprihatinan dan meminta kunjungan lapangan.
d.       Prosedur 1503
Prosedur 1503 adalah prosedur penanganan masalah HAM secara tertutup. Ia bersifat tertutup karena dilakukan dalam sidang tertutup dan nama negara tidak dipublikasikan. Laporan dari prosedur ini dapat dikirim pada pelapor khusus maupun working group yang ada.

Secara perlahan lahir pula mekanisme yang disebut international human rights tribunal. Secara formal tidak disebut demikian melainkan pengadilan pidana internasional. Jika mekanisme internasional di atas menekankan bagaimana negara mentaati standar hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional, dengan membangun opini publik maka mekanisme pengadilan internasional menekankan pada bagaimana memerangi impunitas.
Maksudnya, mekanisme pidana internasional menekankan penghukuman terhadap pelaku
pelanggaran HAM. Oleh karena itu pengadilan berorientasi pada penuntutan dari pelaku (tentu termasuk perencana) pelanggar hak asasi manusia. Dengan kata lain mekanisme ini adalah proses kriminalisasi pelanggaran HAM di tingkat internasional.
Secara historis, dapat dikatakan, bahwa hal ini dimulai sejak dibentuknya pengadilan Nuremburg dan Tokyo pasca PD II. Keduanya mengadili kejahatan-kejahatanuntuk konflik bersenjata internasional. Selanjutnya pada 1993 dibentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk negara beksas Yugoslavia (ICTY) dan 1994 dibentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR).
Setidaknya ada beberapa catatan khusus dari pengadilan hak asasi manusia internasional,
yaitu:
a. Memfokuskan pada pelanggaran hak asasi manusia yang masif (luas) dan atau
sistematis, seperti kejahatan terhadap kemanusia (CAH), genocide, kejahatan perang,
apartheid dan penyiksaan.
b. Yurisdiksi internasional.
c. Menuntut pertanggungjawaban perorangan (bukan negara)
d. Pengakuan atas pertanggungjawaban komandan (command responsibility)
e. Yurisdiksi universal. Disamping itu di dalam dunia internasional diakui adanya
yurisdiksi universal, yaitu Negara manapun dapat mengadili pelaku pelanggaran
HAM tanpa perlu memperhatikan (a) kebangsaan dari pelaku maupun korban atau
(b) apakah dilakukan di luar wilayah Negara pelaku/korban tersebut.

Jika ICTR dan ICTY bersifat ad hoc, maka telah pula dibentuk pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yaitu ICC (International Criminal Court). Pengadilan ini dibentuk berdasarkan Statuta Roma. Dalam pengadilan permanent tidak berlaku prinsip retroaktif sebagaimana dalam pengadilan ad hoc. Artinya, dalam Pengadilan Pidana Internasional hanya mengadili kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma dan bukan atas kejahatan yang terjadi sebelumnya. Hal ini berbeda dengan model pengadilan ad hoc seperti ICTR/ICTY yang mengadili kejahatan yang terjadi sebelum pengadilan itu dibentuk. Pengadilan pidana internasional permanen (ICC), berpegangan pada prinsip ”sebagai pelengkap dari yurisdiksi internasional”.
Beberapa mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan HAM), dimana ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) dapat mengadilinya.
Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah [10]:
1. Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;
2. Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;
3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;
4. Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan.
ICC memiliki tiga bentuk kewenangan untuk memeriksa suatu sengketa. Pertama, atas permintaan negara peserta di mana terjadi pelanggaran HAM. Kedua, referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan kewenangan Bab VII Piagam PBB. Ketiga, inisiatif dari jaksa ICC.
Dalam kasus Saif Al-Islam, putra M. khadafi, ICC telah mengeluarkan surat penangkapan terhadap Saif al-Islam sejak Juni lalu, disaat Libya dirasa belum bertindak dalam kasus ini. Saif dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Disisi lain, Libya mulai menyatakan sikap untuk menindak setelah Saif berhasil ditangkap. Sementara ICC memiliki tujuan utama untuk memastikan adanya pengadilan yang adil dan untuk mencegah peristiwa M. Khadafi, yang tewas di tangan milisi sebelum diadili, terulang kembali. Sehingga terjadi polemik dimana Saif akan diadili.
Empat alasan penting warga Libia kenapa mereka ingin mengadili Saif di negara sendiri.
1. Keinginan rakyat
Rakyat Libia ingin mengadili Saif di negara sendiri. Sebagian besar warga Libia mendukung hal ini. Kalau Saif tetap dikirim ke Den Haag itu akan menjadi hal yang memalukan bagi pemerintah baru. Selain itu, mayoritas warga Libia ingin agar Saif dieksekusi mati atas kejahatannya. Sementara  ICC tidak mengenal hukuman mati.


2. Contoh bagus untuk Dewan Transisi
Dewan Transisi, pemerintah sementara Libia, ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka berdaulat penuh dan mampu mengorganisir proses internasional yang rumit. "Sistem yuridis Libia mampu mengadili orang seperti Saif al-Islam," kata Menteri Kehakiman Mohammed al-Alagi. "Kami sudah mempersiapkan ini selama berbulan-bulan. Yang paling penting adalah proses ini berjalan dengan adil."
Libia takut munculnya oposisi di dalam negeri kalau Saif diserahkan ke Barat. Terutama berbagai suku yang punya hubungan dengan mantan diktator Gaddafi bisa mengangkat senjata. Pejuang Zintan, yang menangkap Saif Sabtu lalu, menyatakan mereka akan menahan Saif sampai sistem hukum di Libia terbentuk.

4. Saif al-Islam sebagai pahlawan
Banyak warga Libia takut Saif akan mendapat status pahlawan kalau dia disidang di Den Haag. Kalau semua kamera mengarah padanya, ia bisa saja menampilkan diri sebagai pahlawan untuk dunia Islam.
Sementara itu masyarakat internasional punya pendapat sendiri tentang proses terhadap Saif. Proses tersebut harus berlangsung di Den Haag, di ICC. Untuk itu ada empat alasan penting:
1. Resolusi PBB tentang kerja sama dengan ICC
Dewan Keamanan PBB Februari lalu menerima resolusi yang menyatakan Libia akan bekerja sama dengan ICC. Ini artinya Saif harus diserahkan ke Den Haag kalau ICC memintanya. Pengacara dan ahli hukum internasional Geert-Jan Knoops menyatakan, "Dewan Transisi waktu itu juga senang dengan resolusi PBB itu. Jadi, harusnya mereka juga akan menyerahkannya ke ICC."
Mahkamah internasional berhak menggelar proses pengadilan apabila negara bersangkutan tidak mau atau tidak mampu melakukannya. Sudah jelas Libia mau menggelar proses hukum, namun demikian saat ini negara tersebut belum mampu. Selama empat puluh tahun rezim Gaddafi, sistem hukum di Libia tidak berjalan seperti seharusnya. Mereka tidak akan bisa menangani proses hukum yang kompleks dan sensitif seperti ini. Menurut Knoops, saat ini "sistem hukum di Libia kacau".
Proses persidangan yang adil di Tripoli tidak mungkin terjadi mengingat negara tersebut baru saja lepas dari perang saudara. Sementara di Den Haag bisa dipastikan proses akan adil."Di mana bisa kita temukan hakim yang netral yang mau membebaskan dia? Di Libia tidak mungkin ada hukuman lain selain hukuman mati."
Knoops meramalkan ICC akan malu kalau Saif sampai tidak diadili di Den Haag. "Ini merupakan pelanggaran resolusi PBB dan bisa menimbulkan huru-hara dalam tubuh Dewan Keamanan. Organisasi HAM juga akan marah. Proses pengadilan terhadap Saddam Hussein di Bagdad dianggap sebagai contoh buruk karena merupakan sebuah shame trial.” 
Pada akhirnya, ICC setuju apabila Saif akan diadili di Libya, Apalagi mengingat ICC memiliki hak untuk mengadili Saif al-Islam hanya jika Libya tidak ingin atau tidak dapat melakukannya. Namun ICC tetap ingin memastikan adanya kerja sama. Ketika warga Libya memutuskan menegakkan keadilan, ICC akan membantu mereka untuk melakukannya, sesuai sistem yang berlaku. ICC akan ikut dalam pengawasan pengadilan Saif di Libya.







Minggu, 18 Maret 2012

Makalah Hukum Lingkungan

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah
Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan karunia Tuhan YME yang diberikan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Karenanya hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah sama bagi semua manusia bahkan mahluk hidup yang ada didunia. Dibalik kesamaan hak tersebut,tentunya adalah kewajiban semua manusia juga untuk menjaga dan melestarikan fungsi lingkungan hidup ini.Kewajiban disini menjurus kepada semua tindakan,usaha,dan kegiatan yang dilakukan oleh manusia baik secara individu maupun secara berkelompok guna menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Hal ini perlu dan wajib untuk dilaksanakan karena kondisi lingkungan hidup dari hari ke hari semakin menunjukkan penurunan kualitas yang cukup signifikan.
Tetapi lingkungan yang sehat dan baik kadang-kadang susah diwujudkan karena perbuatan satu atau lebih pihak yang menyebabkan rusaknya atau terganggunya pelaksanaan hal tersebut. Pihak yang melakukan perusakan atau yang menyebabkan terganggunya lingkungan menyebabkan timbulnya sengketa dalam bidang lingkungan, yang perlu diselesaikan.
Karena atas dasar tersebut maka penulis merasa ingin membahas permasalahan sengketa lingkungan dengan judul, Penyelesaian Sengketa Lingkungan Berdasarkan UU.No.32 Tahun 2009 melalui Pengadilan dan Luar Pengadilan”.

I.2. Rumusan Masalah
            Rumusan masalah dalam makalah ini adalah:
1.      Bagaimana Penyelesaian Sengketa Lingkungan diluar Pengadilan  Menurut UU.No.32 Tahun 2009?
2.      Bagaimana Penyelesaian Sengketa Lingkungan melalui Pengadilan Menurut UU.No.32 Tahun 2009?
     
I.3. Batasan Masalah
            Batasan masalah dalam makalah ini adalah:
1.       Penyelesaian Sengketa Lingkungan diluar Pengadilan Menurut UU.No.32 Tahun 2009.
2.       Penyelesaian Sengketa Lingkungan melalui Pengadilan Menurut UU.No.32 Tahun 2009.


I.4. Tujuan Penulisan
            Tujuan penulisan dalam makalah ini adalah:
1.      Untuk mendeskripsikan Penyelesaian Sengketa Lingkungan diluar Pengadilan Menurut UU.No.32 Tahun 2009.
2.      Bagaimana Penyelesaian Sengketa Lingkungan melalui  Pengadilan Menurut UU.No.32 Tahun 2009.












BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Lingkungan Hidup
Menurut Prof.Emil Salim: “ secara umum lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi keadaan dan pengaruh yang terdapat dalam ruangan kita tempati dan mempengaruhi hal yang tidak termasuk kehidupan manusia”. ( Abdurrahman,1990:7)
Menurut Prof.Otto Soemarwoto: “ Lingkungan adalah jumlah semua benda kondisi yang ada dalam ruang yang kita tempati yang mempengaruhi kehidupan kita”. (Abdurrahman,1990:8)
Dalam Penjelasan Umum UU No.32 Tahun 2009 ,” Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

II.2. Pengertian Sengketa Lingkungan
Pengertian sengketa dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti pertentangan atau konflik, Konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek permasalahan.
·      Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat :
Sengketa adalah pertentangan antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi keduanya.

Dari kedua pendapat diatas maka dapat dikatakan bahwa sengketa adalah prilaku pertentangan antara dua orang atau lebih yang dapat menimbulkan suatu akibat hukum dan karenanya dapat diberi sangsi hukum bagi salah satu diantara keduanya

·                Pengertian Sengketa Lingkungan menurut UU No.32 Tahun 2009
Menurut Pasal 1 Ketentuan Umum
Sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.
Sengketa lingkungan hidup di Indonesia dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu 1) sengketa yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan; 2) sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam; dan 3) sengketa yang muncul akibat pencemaran atau perusakan lingkungan. Sengketa yang berkaitan dengan upaya perlindungan lingkungan pada umumnya terjadi antara pihak yang ingin memanfaatkan sumber daya alam untuk memenuhi kepentingan ekonomi di satu sisi dan pihak yang berkepentingan atau berkewajiban untuk melindungi lingkungan dan suber daya alam di sisi lain. Sengketa yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber daya alam pada umumnya terjadi karena ada pihak yang merasa akses mereka terhadap sumber daya tersebut terhalangi, sedangkan sengketa akibat pencemaran atau perusakan lingungan pada umumnya terjadi antara pihak pencemar/perusak dengan pihak yang menjadi korban pencemaran/perusakan.







BAB III
PEMBAHASAN

III.1.  Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan Menurut UU.No.32 Tahun 2009.

Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun 2009 melengkapi dari undang-undang sebelumnya,sebagaimana yang tercantum pada Bab XIII UU No 32 Tahun 2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan (pasal 84 ayat 1). 

Pada bagian kedua tentang penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup diluar pengadilan,dikatakan pada pasal 85 (1) bahwa :
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan  mengenai :
1.      Bentuk dan besar nya ganti rugi;
2.      Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau peruskan;
3.      Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
4.      Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Penyelesaian sengketa diluar pengadilan ini tidak berlaku terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU.No32 Tahun 2009 tersebut hal ini tercantum dalam Pasal 85 ayat 2. Dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dapat digunakan jasa mediator dan atau arbitrer yang berfungsi untuk membantu menyelesaikan sengketa lingkungan hidup itu sendiri hal ini menurut Pasal 85 ayat 3.
Bentuk-bentuk penyelesaian lingkungan hidup diluar pengadilan ini menganut konsep Alternative Dispute Resolution (ADR),yang dilakukan dalam wujud mediasi ataupun arbritasi.Dan pada bagian inilah peran Polri dapat masuk dan ikut serta menjadi seorang mediator dalam pelaksanaan mediasi.Bentuk-bentuk penyelesaian sengketa ini memang memperkenankan untuk hadirnya orang ketiga sebagai penengah dan bukan penentu kebijakan.
Masyarakat pun dapat turut campur dalam upaya penyelesaian sengketa lingkungan ini dengan membentuk lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa lingkungan hidup yang bersifat bebas dan tidak berpihak, dalam hal tersebut pemerintah dan pemerintah daerah dapat memfasilitasi pembentukan lembaga tersebut yang ketentuan lebih lanjutnya akan diatur dalam sebuah Peraturan Pemerintah.
III.2.  Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup Melalui  Pengadilan Menurut UU.No.32 Tahun 2009.
Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009 dan terdiri dari :
1.      Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
Hal ini termuat dan diatur lebih lanjut pada Pasal 87 UU No.32 Tahun 2009, ganti kerugian dikenakan terhadap setiap penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran atau perusakan lingkungan yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, setiap orang yang melakukan pemindahtanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggung jawab hukum/dan atau kewajiban badan usaha tersebut. Dalam hal ini pengadilan dapat mengenakan uang paksa terhadap keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan, dimana uang paksa ini didasarkan pada peraturan peraturan perundang-undangan.
2.      Tanggung Jawab Mutlak
Terhadap setiap orang yang tindakannya atau usahanya dan kegiatannya yang menggunakan B3( Bahan Berbahaya Beracun), menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3 dan/atau menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
3.      Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah
Dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup, berwenang untuk mengajukan gugatan ganti rugi dan tindakan tertentu terhadap usaha dan atau kegiatan yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup dan atau kegiatan yang menyebabkan pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup yang mengakibatkan kerugian lingkungan hidup. ( Pasal 90 Ayat 2).
4.      Hak Gugat Masyarakat
Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Gugatan dapat diajukan apabila terjadi kesamaan fakta atau peristiwa, dasar hukum, serta jenis tuntutan di antara wakil kelompok dan anggota kelompoknya.Ketentuan mengenai hak gugat ini masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

5.      Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
Dalam rangka pelaksanaan tanggung jawab perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup. Hak mengajukan gugatan terbatas pada tuntutan untuk melakukan tindakan tertentu tanpa adanya tuntutan ganti rugi, kecuali biaya atau pengeluaran riil.
Organisasi lingkungan hidup dapat mengajukan gugatan apabila memnuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       Berbentuk badan hukum
b.      Menegaskan di dalam anggaran dasarnya bahwa organisasi tersebut didirikan untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.
c.       Telah melaksanakan kegiatan nyata sesuai dengan anggaran dasarnya paling singkat 2 tahun.
6.      Gugatan Administratif
Setiap orang dapat mengajukan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara apabila:
a.       Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen amdal.
b.      Badan atau pejabat tata usaha Negara menerbitkan izin lingkungan kepada kegiatan yang wajib UKL-UPL, tetapi tidak dilengkapi dengan dokumen UKL-UPL
c.       Badan atau pejabat tata usaha Negara yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan yang tidak dilengkapi dengan izin lingkungan.
Tata cara pengajuan gugatan terhadap keputusan tata usaha Negara mengacu pada Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara.
Kegiatan Penyidikan dilakukan oleh penyidik baik dari POLRI juga dari Pejabat PNS yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Pembuktian berupa alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan terdiri atas:
a.       Keterangan saksi
b.      Keterangan ahli
c.       Surat
d.      Petunjuk
e.       Keterangan terdakwa
f.       Alat bukti lain termasuk alat bukti yang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam rangka penegakan hukum terpadu pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisian dan kejaksaan di bawah Koordinasi Menteri.
Akan tetapi dibalik ini semua,UU No 32 Tahun 2009 mengenal apa yang dinamakan asas Ultimum Remedium,yakni mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.Yang mana penerapan asas ini,hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu,yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah,emisi,dan gangguan.
Jika dilihat dari penerapan hukum secara perdata,Hak gugat pemerintah dan pemerintah daerah,hak gugat masyarakat dan hak gugat organisasi lingkungan hidup merupakan bentuk-bentuk pengamalan konsep axio popularis,class action dan legal standing.Konsep-konsep ini merupakan terobosan hukum yang sangat baik dalam penerapannya.Penerapan hukum perdata ini juga diikuti engan berbagai persyaratan  seperti pelaksanaan hak gugat oleh pemerintah bisa dilakukan oleh Kejaksaan,pelaksanaan clas action yang dapat dilakukan oleh orang atau sekelompok orang dan pelaksanaan hak gugat oleh organisasi Lingkungan yang harus memenuhi persyaratan organisasi sesuai dengan apa yang diatur dalam UU No 32 Tahun 2009 ini.Ancaman hukuman yang ditawarkan oleh UU No 32 Tahun 2009 ini juga cukup komprehensif,misalkan mengenai pasal-pasal yang mengatur tentang ketentuan pidana dan perdata yang mengancam setiap pelanggaran peraturan dibidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,baik perseorangan, korporasi, maupun pejabat. Contoh yang paling konkret adalah porsi yang diberikan pada masalah AMDAL. Sekurangnya terdapat 23 pasal yang mengatur mengenai AMDAL,tetapi pengertian dari AMDAL itu sendiri berbeda antara UU No 32/2009 dengan UU No 23/1997, yakni hilangnya ”dampak besar”.Hal-hal baru mengenai AMDAL yang termuat pada undang-undang terbaru ini antara lain:
1.    AMDAL dan UKL/UPL merupakan salah satu instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
  1. Penyusunan dokumen AMDAL wajib memiliki sertifikat kompetensi penyusun dokumen AMDAL;
  2. Komisi penilai AMDAL pusat,Provinsi,maupun Kab/Kota wajib memiliki lisensi AMDAL;
  3. AMDAL dan UKL/UPL merupakan persyaratan untuk penertiban izin lingkungan;
  4. Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri,Gubenur,Bupati/Walikota sesuai kewenangannya.
Selain hal-hal yang disebutkan diatas,ada pengaturan yang tegas dan tercantum dalam UU No 32 Tahun 2009 ini ,yaitu dikenakannya sanksi pidana dan sanksi perdata terkait pelanggaran bidang AMDAL.Hal-hal yang terkait dengan sanksi tersebut berupa :
  1. Sanksi terhadap orang yang melakukan usaha/kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan;
  2. Sanksi terhadap orang yang menyusun dokumen AMDAL tanpa memiliki sertifikat kompetensi;
  3. Sanksi terhadap pejabat yang memberikan izin lingkungan yang tanpa dilengkapi dengan dokumen AMDAL atau UPL/UK





BAB IV
PENUTUP

IV.1. Simpulan
1.      Penyelesaian sengketa Lingkungan Hidup pada UU No 32 Tahun 2009 melengkapi dari undang-undang sebelumnya,sebagaimana yang tercantum pada Bab XIII UU No 32 Tahun 2009 dikatakan bahwa Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan (pasal 84 ayat 1).
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan  mengenai :
a.  Bentuk dan besar nya ganti rugi;
b. Tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau peruskan;
c. Tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan; dan/atau
d. Tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
2.      Sedangkan penyelesaian sengketa melalui peradilan diatur pada bagian ketiga UU No 32 Tahun 2009 dan terdiri dari :
a. Ganti Kerugian dan Pemulihan Lingkungan
b. Tanggung Jawab Mutlak
c. Hak Gugat Pemerintah dan Pemerintah daerah
d. Hak Gugat Masyarakat
e. Hak gugat Organisasi Lingkungan Hidup
f. Gugatan Administratif
IV.2. Saran
1. Kepada pemerintah sebaiknya menerapkan peraturan yang tertuang dalam UU.No.32 Tahun 2009 dalam hal Penyelesaian Sengketa lingkungan untuk menyelesaikan masalah sengketa lingkungan. Pemerintah juga harus menegakkan peraturan tersebut dalam menanganinya.
2. Kepada masyarakat harus memanfaatkan hak gugatnya apabila merasa dirugikan oleh tindakan pihak-pihak yang menimbulkan kerusakan yang berujung pada sengketa lingkungan
3. Kepada pihak yang harus bertanggung jawab terhadap kerusakan atau pencemaran lingkungan yang berujung pada sengketa lingkungan harus bertanggung jawab sesuai dengan peraturan yang ada pada UU. No.32 Tahun 2009 tentang Penyelesaian Sengketa baik melalui pengadilan atau di luar pengadilan.




Contoh paper mata Kuliah Hukum Hak Asasi Manusia

“MEKANISME PERADILAN YANG SESUAI HAK ASASI MANUSIA TERKAIT PROSES PERADILAN SAIF AL ISLAM KHADAFI”

Latar Belakang:
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.[1] Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep kontrak sosialnya thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.[2]
Pemajuan dan perlindungan HAM berkembang dengan cepat bersamaan dengan perkembangan yang melaju hubungan antar bangsa dan proliferasi organisasi-organisasi regional dan multilateral global.[3] Permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bukanlah suatu hal yang baru. Sejak Peradilan Nuremberg 1946 dan Peradilan Tokyo telah jelas bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor Negara atau pejabat Negara yang terbukti kesalahannya pun dapat ditindak dan diadili melalui pengadilan.[4]Tonggak sejarah peradilan HAM internasional adalah peradilan Nuremberg yang dilakukan terhadap Hermann W. Goering (Pejabat Nazi) yang terjadi pada tahun 1946. Selain menegaskan prinsip pertanggungjawaban individu, Mahkamah Nuremberg juga memperkenalkan kategori-kategori kejahatan yang relatif baru, seperti kejahatan terhadap perdamaian (Crime against peace), kejahatan perang (War Crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against humanity). Puncaknya pada saat Mahkamah Pidana Internasional yang disebut International Criminal Court (ICC) yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.[5]
Dewasa ini pelanggaran terhadap hak asasi manusia, masih sering terjadi meskipun sering didengung-dengungkan perlindungan penegakan hak asasi mausia di seluruh dunia yang ditandai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), seperti kasus yang terjadi baru-baru ini di Libya oleh rezim Khadafi yang juga dibantu oleh puteranya Saif Al-Islam yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Khadafi bersama putranya Saif al Islam diyakini bertanggung jawab atas terjadinya perkosaan massal, dan telah melakukan pelanggaran HAM berat selama perang saudara di negara tersebut.[6] Lantas bagaimana mekanisme penyelesaian kasus ini melalui pengadilan yang tetap mewujudkan peradilan yang adil bagi semua pihak termasuk tersangka Saif Al-Islam sendiri. Hal tersebutlah yang akan dibahas dalam paper ini.

Rumusan Masalah:
            Rumusan masalah yang akan dibahas dalam paper ini adalah:
1.      Pengadilan mana yang berwenang mengadili Kasus Saif Al-Islam?
2.      Bagaimana pengadilan yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia itu, dan bagaimana jika dikaitkan dengan kasus Saif Al-Islam Khadafi?
Analisis
Pengadilan Yang Berwenang Mengadili Kasus Saif Al-Islam
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat diadili.[7] Berdasarkan prinsip tersebut harusnya yang berwenang untuk mengadili kasus ini adalah pengadilan lokal Libya sendiri.Menurut Menteri Kehakiman sementara Libya Mohammed al-Allagui Mengadili Saif adalah tanggung jawab khusus dari pengadilan Libia. Itu merupakan hak prerogatif pengadilan Libia. Itu berkaitan dengan kedaulatan kami atas wilayah dan warga kami”.[8] Hal ini merupakan bentuk adanya kemauan dari Pemerintah Libya dalam mengadili kasus ini.
Keadaan Negara Libya yang sedang dalam masa transisi pasca tergulingnya rezim Khadafi dirasa belum mampu oleh kalangan internasional untuk melaksanakan pengadilan untuk menangani kasus tersebut, dengan alasan tersebutlah maka ICC merasa perlu untuk menyelesaikannya. Dalam masyarakat yang pemerintahannya sedang mengalami transisi ( misalnya dari otoritarianisme ke demokrasi) , penegasan kembali tentang nilai-nilai sering kali diperlukan. Dalam kondisi tersebut masyarakat yang telah terkoyak oleh pelanggaran HAM dan kejahatan serius, yang tidak puas melihat pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan serius tidak dijatuhi pidana yang setimpal mungkin akan menempuh cara kekerasan untuk menggantikan fungsi retributif hukum pidana.[9] Cara inilah yang ditakutkan oleh ICC, sehingga merasa penting untuk menyelenggarakan peradilan yang adil bagi Saif sendiri agar tidak terulang kasus seperti ayahnya, Muammar Khadafi yang mati ditangan pemberontak.
Di samping negara peserta, ICC juga dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap kasus yang diserahkan oleh Dewan Keamanan dalam rangka BABVII Piagam Dewan Keamanan.[10] Hal inilah yang terjadi pada kasus Libya, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi yang memberikan mandat agar kasus ini diselesaikan oleh ICC, Namun demikian berkaitan dengan Dewan Keamanan ini ternyata Statuta  memberikan kewenangan pada Dewan Keamanan untuk meminta ICC menunda pelaksanaan yurisdiksinya.
Kejahatan yang dilakukan oleh Saif adalah masuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemerkosaan massal[11] yang merupakan  salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.[12]
Pengadilan yang Sesuai dengan Hak Asasi Manusia Dikaitkan dengan Kasus Saif Al-Islam
Bagaimanapun tindakan yang dilakukan oleh manusia apakah ia seorang yang penjahat sekalipun ia tetap mempunyai hak asasi manusia yang wajib dihormati dan dilindungi. Pasal 1 dan 2 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, menegaskan hal tersebut.[13] Deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan hak-hak asasi manusia, sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa.[14] Hak atas peradilan yang adil telah diatur dalam prinsip-prinsip peradilan yang adil[15] baik sejak proses penangkapan, penahanan, peradilan.
Hak  atas  peradilan  yang  adil  merupakan  komponen inti dari perjanjian internasional tentang HAM, seperti Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (Sipol), Konvensi HAM Eropa, dan Konvensi Negera-negara  Di  Benua Amerika  (Amerika)  Tentang  HAM (Pakta San Jose). Pasal  14  Kovenan  Internasional  Hak  Sipol  dan  pasal 6 Konvensi HAM Eropa mengatur ruang lingkup Hak atas  peradilan  yang  adil.  Pada  intinya,  Kovenan  Hak Sipol  dan  Konvensi  HAM  Eropa  mengatur  ruang lingkup yang sama atas hak atas peradilan yang adil.[16]
Peradilan yang adil terkait kasus Saif harus diterapkan demi keadilan asasi dari Saif sendiri melalui penerapan prinsip-prinsip peradilan yang adil tersebut. Jika akhirnya kasus ini diadili baik melalui Pengadilan Linya sendiri ataupun melalui ICC, keduanya harus menjamin adanya peradilan yang adil bagi Saif yang juga tetap melindungi Hak Asasinya sebagai manusia. Jangan sampai terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka oleh aparat penekgak hukum selanjutnya akan menimbulkan miscarriage of justice (kegagalan dalam menegakan keadilan). Dimana penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidak adilan.[17]
Kesimpulan:
Peradilan yang berwenang menangani kasus Saif Al-Islam jika mendasar pada prinsip exhaustion local remedies adalah Pengadilan Libya, tetapi jika dilihat dari keadaan Negara Libya sendiri yang sedang berada pada masa transisi sebaiknya memakai  ICC, hal ini untuk mewujudkan adanya peradilan yang adil,. Penyelesaian kasus ini melalui ICC juga didasari adanya resolusi dari Dewan Keamanan PBB yang memberikan mandat agar kasus ini diselesaikan melalui ICC.
Pengadilan yang sesuai dengan hak asasi manusia dikaitkan dengan kasus Saif Al-Islam adalah pengadilan yang menggunakan prinsip-prinsip peradilan yang adil, apakah nantinya kasus ini akan diselesaikan melalui Pengadilan lokal Libya, ataukah ICC harus menjamin adanya peradilan yang adil dan sesuai dengan hak asasi manusia dari terdakwa.







[1] Rhona K.M. Smith dkk, 2008.Hukum dan Hak Asasi Manusia,Jogjakarta: Pusat Studi HAM UII , hlm. 11
[2] Mince Hamzah Proses penegakan Hak Asasi Manusia, sebuah akumulasi ketidak adilan tersedia dalam http://politik.kompasiana.com/2010/02/27/proses-penegakan-hak-asasi-manusia/

[3] Boer Mauna.2003.Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.Bandung: Alumni hlm.597
[4] Jawahir Thontowi. 2004. Pelanggaran HAM Berat (Jurnal Hukum, Vol.14, No.2, Juli 2004). Yogyakarta: UII.
[5] loc.cit
[7] Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah:1. Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;2. Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;4. Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh ata substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan.

[8]Data diambil dari Saif al-Islam Gaddafi akan diadili di Libia 22 November 2011 tersedia pada http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/11/111122_saif.shtml

[9]  Arie Siswanto.2005.Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. Hlm.13
[10] Sefriani.2007.Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998 .Jurnal Hukum No.2 Vol.14.UII
[11]pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan ::(a) Pembunuhan;(b) Pemusnahan(c) Perbudakan;(d) Pengusiran atau pemindahan penduduk(e) Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain(f) Menganiaya;(g) Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;(h) Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional(i) Penghilangan seseorang secara paksa;(j) Kejahatan apartheid;(k) Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.
[12]  http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_kemanusiaan
[13] Pasal 1 dan 2 DUHAM, bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain.
[14] Boer Mauna.2003.Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.Bandung: Alumni hlm.601

[15] Prinsip-Prinsip Fair Trial yang wajib diketahui setiap orang: 1). Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi serta larangan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; 2) Hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan penahanan; 3) Hak atas bantuan hukum; 4) Hak untuk menguji penangkapan dan penahanan; 5) Asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence); 6) Hak untuk diajukan dengan segera ke hadapan hakim dan persidangan; 7) Asas persamaan dimuka hukum (equality before the law); 8) Larangan atas penyiksaan; 9) Hak atas Pemeriksaan yang adil dan terbuka; 10) Hak untuk segera diberitahukan bentuk dan penyebab tuduhan pidana diberikan; 11) Hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan; 12) Hak untuk membela dirinya sendiri atau melalui penasehat hukum; 13) Hak untuk memeriksa para saksi yang memberatkan dengan porsi yang sama; 14) Hak untuk mendapatkan penerjemah secara gratis; 15) Larangan untuk memaksa seseorang memberikan keterangan yang akan memberatkan dirinya sendiri tersedia pada http://www.bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B11&sub=B1101&t=2

[16]Uli Parulian Sihombing .2008. Hak Atas Peradilan Yang Adil Yurisprudensi Pengadilan HAM Eropa, Komite HAM PBB Dan Pengadilan HAM Inter-Amerika.Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center
[17] O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung : 2006, hlm. 12.