Senin, 02 April 2012

contoh makalah hukum internasional

BAB I
PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang
Hak asasi manusia sebagai hak dasar yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Hak-hak tersebut melekat pada dirinya sebagai makhluk insani. Hak asasi manusia adalah unsur yang amat penting yang tidak bisa ditawar-tawar lagi mengenai pelaksanaannya, baik hukum maupun politik tidak boleh melanggar martabat seseorang atau sekelompok orang sebagai manusia. (Rhona K. M. Smith., dkk, 2008: 11)
Hak asasi manusia memang merupakan unsur yang amat penting yang pelaksanaannya harus dilakukan baik oleh masyarakat sendiri ataupun oleh pemerintah atau Negara, tapi dengan hal tersebut bukan berarti tidak ada pelanggaran terhadap pelaksanaan hak asasi manusia.
Pelanggaran hak asasi manusia merupakan ancaman besar tehadap perdamaian, keamanan dan stabilitas Negara. Pelanggaran hak asasi manusia tidak hanya dilakukan oleh masyarakat baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, tetapi pelanggaran tersebut juga bisa dilakukan oleh Negara mapun melalui aparat Negara atau pemerintahnya, biasanya pelanggaran oleh Negara sering mengarah ke pelanggaran Hak Asasi Manusia berat.
Permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bukanlah suatu hal yang baru. Sejak Peradilan Nuremberg 1946 dan Peradilan Tokyo telah jelas bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor Negara atau pejabat Negara yang terbukti kesalahannya pun dapat ditindak dan diadili melalui pengadilan.
Dewasa ini permasalahan pelanggaran HAM berat bukanlah tidak ada terbukti dengan adanya Kasus pemimpin Libya Muammar Khadafi beserta putranya Saif Al-Islam yang dianggap telah melakukan pelanggaran HAM  berat di  Negara tersebut. Kalangan internasional bereaksi keras dan mengecam tindakan yang telah mereka lakukan dan ingin mengadili mereka.
Berdasarkan permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk membahas kasus Saif Al-Islam Khadafi ini dalam makalah kami yang berjudul:
“Tinjauan Kasus Pelanggaran HAM Berat oleh Saif Al-Islam Khadafi berdasarkan Ketentuan Hukum Internasional”
I.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah pasti mendasarkan pada rumusan masalah, dalam makalah ini rumusan masalahnya adalah:
Bagaimana mekanisme monitoring dan penegakan HAM dan prakteknya pada kasus Shaif Al-Islam Khadafi?
I.3. Batasan Masalah
Dalam makalah ini, penulis membatasi bahasan masalah hanya sebatas:
Mekanisme monitoring dan penegakan HAM dan prakteknya pada kasus Shaif Al-Islam Khadafi
I.4. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
Mendeskripsikan mekanisme monitoring HAM dan prakteknya di Libia oleh Shaif Al-Islam Khadafi.







BAB II
KAJIAN PUSTAKA
II.1. Pengertian Pelanggaran HAM Berat
Suatu kejahatan atau pelanggaran HAM berat harus mengandung adanya perbuatan yang melanggar (act of commission) ada unsur kesengajaan dan sikap membiarkan suatu perbuatan yang semestinya harus dicegah, yang secara sistematis dan menimbulkan akibat yang meluas dan rasa takut yang luar biasa.
Menurut konvensi internasional yang dibuat oleh organisasi Negara-negara Asia Selatan, ciri kejahatan HAM berat dapat dikaitkan dengan ancaman yang ditimbulkan, misalnya: pembunuhan, pembantaian manusia, penyerangan yang menyebabkan bahaya terhadap jiwa dan raga, penculikan, penyanderaan, dan pelangggaran terkait dengan senjata api, bahan peledak, ancaman hilangnya harta kekayaan dan benda-benda immateriil lainnya.
II.2. Jenis-jenis Pelanggaran HAM Berat menurut Statuta Roma 1998







BAB III
PEMBAHASAN
III.1.  Mekanisme Monitoring dan Penegakan HAM dan Prakteknya Pada Kasus Saif Al-Islam di Libya.
Mekanisme monitoring dan penegakan HAM dibedakan atas mekanisme yang berdasarkan pada perjanjian hak asasi manusia internasional (treaty based) dan piagam PBB (charter based).
1. Treaty based mechanisme.
Seperti namanya, mekanisme ini adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM internasional. Seperti diketahui perjanjian internasional mengikat negara-negara dan berlaku ketika sejumlah negara yang menandatanganinya telah meratifikasi perjanjian tersebut.
Pada umumnya terdapat empat (4) mekanisme utama pengaduan dan monitoring terhadap
penerapan hak asasi manusia berdasarkan perjanjian HAM internasional (treaty based), yaitu:
a.       Mekanisme pelaporan
Mekanisme ini dibangun oleh badan/komite bersangkutan untuk memantau kemajuan penerapan kewajiban Negara sebagaimana tertera dalam perjanjian. Hal ini dilakukan melalui berbagai laporan yang wajib disampaikan oleh Negara dalam periode tertentu pada Komite bersangkutan. Komite melakukan penilaian atas laporan yang dibuat oleh negara dan mengajukan sejumlah pertanyaan klarifikasi. Setelah itu Komite membuat kesimpulan dan rekomendasi.
b.      Mekanisme Pengaduan Individual
Beberapa konvensi, yaitu ICCPR, CAT, CERD, dan MWC memberi wewenang pada Komite untuk menerima dan memeriksa pengaduan yang disampaikan secara individual. Mekanisme ini berhubungan dengan pengaduan dari individu atau kelompok yang percaya bahwa hak-hak asasinya telah dilanggar.
c.       Pengaduan antar Negara
Pengaduan dilakukan oleh Negara pihak terhadap Negara pihak lainnya yang dianggap melanggara kewajibannya dalam perjanjian tersebut. Negara yang menerima komunikasi wajib memberi tanggapan, jika tidak Negara pengadu dapat membawa masalah ini kepada badan perjanjan yang berwenang. Badan itu kemudian mencari pemecahan yang dapat diterima kedua belah pihak.
d.       Mekanisme Investigasi
Mekanisme yang hanya ada pada dua konvensi HAM yaitu CEDAW dan CAT, memberi wewenang pada komite untuk melakukan investigasi atas dugaan pelanggaran hak asasi – dengan syarat pelanggaran tersebut bersifat berat atau sistematis.

2. Charter based mechanism
Charter based mechanism adalah prosedur penegakan hak asasi manusia yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan piagam PBB itu sendiri. Basis legalnya adalah pasal 55 dan 56 dari Piagam PBB serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial.
Mekanisme ini dilakukan melalui:
a.       Komisi HAM PBB
Boleh dikatakan dalam keseluruhan prosedur ini, Kantor Komisi HAM PBB, yang terletak di Geneva menjadi jantungnya. Komisi HAM PBB setelah selesai melakukan tugasnya merumuskan Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia dan dua Kovenan Internasional HAM, sejak 1967 diberi mandat oleh ECOSOC untuk menangani pengaduan-pengaduan pelanggaran hak asasi. Komisi harus melaporkan hasilnya langsung pada ECOSOC.
b.      Sub Komisi HAM
Disamping Komisi HAM PBB dibentuk pula Sub Komisi HAM PBB yang sejak 1998 menjadi ’think tank’ dari Komisi HAM PBB. Komisi ini merupakan badan utama yang menangani masalah hak asasi dan hal lain yang berhubungan dengan hak asasi. Komisi terdiri dari 43 negara anggota yang dipilih untuk masa 3 tahun berdasar kelompok regional dengan fungsi utama: membangun standar hak asasi (standard setting), melakukan monitoring atas penegakan standar hak asasi manusia internasional dan melakukan kerjasama internasional untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi. Termasuk di dalamnya penyelidikan terhadap dugaan pelanggaran hak asasi, penanganan pengaduan (komunikasi) yang berhubungan dengan pelanggaran tersebut, dan mengkoordinasi kegiatan yang berhubngan dengan hak asasi manusia dalam sistem PBB.
c.       Mekanisme tematis dan Negara
Mekanisme yang dibentuk oleh Komisi HAM PBB untuk menyelediki masalah hak asasi manusia berdasarkan isu hak asasi tertentu (misalnya hak kebebasan berekspresi) atau negara tertentu. Pada mekanisme ini Komisi HAM PBB dan Sub Komisinya dapat menugaskan ahli atau sekelompok ahli tertentu untuk melakukan investigasi atas isu HAM tertentu (misalnya penyiksaan) pada sebuah negara tertentu. Biasanya mereka dibentuk dalam wujud Pelapor Khusus atau Kelompok Kerja. Tugas mereka bisa pada tema-tema HAM tertentu tapi juga negara tertentu.  Dalam mekanisme tematis ini mereka dapat bertindak langsung atas pelanggaran HAM yang terjadi selambatnya 3 x 24 jam dari peristiwa tersebut. Mereka kemudian akan menyelidiki kasus (melakukan verifikasi pada pelapor dan pemerintah). Untuk itu mereka akan mengirim nota keprihatinan dan meminta kunjungan lapangan.
d.       Prosedur 1503
Prosedur 1503 adalah prosedur penanganan masalah HAM secara tertutup. Ia bersifat tertutup karena dilakukan dalam sidang tertutup dan nama negara tidak dipublikasikan. Laporan dari prosedur ini dapat dikirim pada pelapor khusus maupun working group yang ada.

Secara perlahan lahir pula mekanisme yang disebut international human rights tribunal. Secara formal tidak disebut demikian melainkan pengadilan pidana internasional. Jika mekanisme internasional di atas menekankan bagaimana negara mentaati standar hak asasi manusia, sebagaimana tertuang dalam berbagai instrumen HAM internasional, dengan membangun opini publik maka mekanisme pengadilan internasional menekankan pada bagaimana memerangi impunitas.
Maksudnya, mekanisme pidana internasional menekankan penghukuman terhadap pelaku
pelanggaran HAM. Oleh karena itu pengadilan berorientasi pada penuntutan dari pelaku (tentu termasuk perencana) pelanggar hak asasi manusia. Dengan kata lain mekanisme ini adalah proses kriminalisasi pelanggaran HAM di tingkat internasional.
Secara historis, dapat dikatakan, bahwa hal ini dimulai sejak dibentuknya pengadilan Nuremburg dan Tokyo pasca PD II. Keduanya mengadili kejahatan-kejahatanuntuk konflik bersenjata internasional. Selanjutnya pada 1993 dibentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk negara beksas Yugoslavia (ICTY) dan 1994 dibentuk Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (ICTR).
Setidaknya ada beberapa catatan khusus dari pengadilan hak asasi manusia internasional,
yaitu:
a. Memfokuskan pada pelanggaran hak asasi manusia yang masif (luas) dan atau
sistematis, seperti kejahatan terhadap kemanusia (CAH), genocide, kejahatan perang,
apartheid dan penyiksaan.
b. Yurisdiksi internasional.
c. Menuntut pertanggungjawaban perorangan (bukan negara)
d. Pengakuan atas pertanggungjawaban komandan (command responsibility)
e. Yurisdiksi universal. Disamping itu di dalam dunia internasional diakui adanya
yurisdiksi universal, yaitu Negara manapun dapat mengadili pelaku pelanggaran
HAM tanpa perlu memperhatikan (a) kebangsaan dari pelaku maupun korban atau
(b) apakah dilakukan di luar wilayah Negara pelaku/korban tersebut.

Jika ICTR dan ICTY bersifat ad hoc, maka telah pula dibentuk pengadilan pidana internasional yang bersifat permanen yaitu ICC (International Criminal Court). Pengadilan ini dibentuk berdasarkan Statuta Roma. Dalam pengadilan permanent tidak berlaku prinsip retroaktif sebagaimana dalam pengadilan ad hoc. Artinya, dalam Pengadilan Pidana Internasional hanya mengadili kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma dan bukan atas kejahatan yang terjadi sebelumnya. Hal ini berbeda dengan model pengadilan ad hoc seperti ICTR/ICTY yang mengadili kejahatan yang terjadi sebelum pengadilan itu dibentuk. Pengadilan pidana internasional permanen (ICC), berpegangan pada prinsip ”sebagai pelengkap dari yurisdiksi internasional”.
Beberapa mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan HAM), dimana ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) dapat mengadilinya.
Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah [10]:
1. Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;
2. Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;
3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;
4. Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh atau substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan.
ICC memiliki tiga bentuk kewenangan untuk memeriksa suatu sengketa. Pertama, atas permintaan negara peserta di mana terjadi pelanggaran HAM. Kedua, referensi dari Dewan Keamanan PBB (DK PBB) berdasarkan kewenangan Bab VII Piagam PBB. Ketiga, inisiatif dari jaksa ICC.
Dalam kasus Saif Al-Islam, putra M. khadafi, ICC telah mengeluarkan surat penangkapan terhadap Saif al-Islam sejak Juni lalu, disaat Libya dirasa belum bertindak dalam kasus ini. Saif dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Disisi lain, Libya mulai menyatakan sikap untuk menindak setelah Saif berhasil ditangkap. Sementara ICC memiliki tujuan utama untuk memastikan adanya pengadilan yang adil dan untuk mencegah peristiwa M. Khadafi, yang tewas di tangan milisi sebelum diadili, terulang kembali. Sehingga terjadi polemik dimana Saif akan diadili.
Empat alasan penting warga Libia kenapa mereka ingin mengadili Saif di negara sendiri.
1. Keinginan rakyat
Rakyat Libia ingin mengadili Saif di negara sendiri. Sebagian besar warga Libia mendukung hal ini. Kalau Saif tetap dikirim ke Den Haag itu akan menjadi hal yang memalukan bagi pemerintah baru. Selain itu, mayoritas warga Libia ingin agar Saif dieksekusi mati atas kejahatannya. Sementara  ICC tidak mengenal hukuman mati.


2. Contoh bagus untuk Dewan Transisi
Dewan Transisi, pemerintah sementara Libia, ingin menunjukkan kepada dunia bahwa mereka berdaulat penuh dan mampu mengorganisir proses internasional yang rumit. "Sistem yuridis Libia mampu mengadili orang seperti Saif al-Islam," kata Menteri Kehakiman Mohammed al-Alagi. "Kami sudah mempersiapkan ini selama berbulan-bulan. Yang paling penting adalah proses ini berjalan dengan adil."
Libia takut munculnya oposisi di dalam negeri kalau Saif diserahkan ke Barat. Terutama berbagai suku yang punya hubungan dengan mantan diktator Gaddafi bisa mengangkat senjata. Pejuang Zintan, yang menangkap Saif Sabtu lalu, menyatakan mereka akan menahan Saif sampai sistem hukum di Libia terbentuk.

4. Saif al-Islam sebagai pahlawan
Banyak warga Libia takut Saif akan mendapat status pahlawan kalau dia disidang di Den Haag. Kalau semua kamera mengarah padanya, ia bisa saja menampilkan diri sebagai pahlawan untuk dunia Islam.
Sementara itu masyarakat internasional punya pendapat sendiri tentang proses terhadap Saif. Proses tersebut harus berlangsung di Den Haag, di ICC. Untuk itu ada empat alasan penting:
1. Resolusi PBB tentang kerja sama dengan ICC
Dewan Keamanan PBB Februari lalu menerima resolusi yang menyatakan Libia akan bekerja sama dengan ICC. Ini artinya Saif harus diserahkan ke Den Haag kalau ICC memintanya. Pengacara dan ahli hukum internasional Geert-Jan Knoops menyatakan, "Dewan Transisi waktu itu juga senang dengan resolusi PBB itu. Jadi, harusnya mereka juga akan menyerahkannya ke ICC."
Mahkamah internasional berhak menggelar proses pengadilan apabila negara bersangkutan tidak mau atau tidak mampu melakukannya. Sudah jelas Libia mau menggelar proses hukum, namun demikian saat ini negara tersebut belum mampu. Selama empat puluh tahun rezim Gaddafi, sistem hukum di Libia tidak berjalan seperti seharusnya. Mereka tidak akan bisa menangani proses hukum yang kompleks dan sensitif seperti ini. Menurut Knoops, saat ini "sistem hukum di Libia kacau".
Proses persidangan yang adil di Tripoli tidak mungkin terjadi mengingat negara tersebut baru saja lepas dari perang saudara. Sementara di Den Haag bisa dipastikan proses akan adil."Di mana bisa kita temukan hakim yang netral yang mau membebaskan dia? Di Libia tidak mungkin ada hukuman lain selain hukuman mati."
Knoops meramalkan ICC akan malu kalau Saif sampai tidak diadili di Den Haag. "Ini merupakan pelanggaran resolusi PBB dan bisa menimbulkan huru-hara dalam tubuh Dewan Keamanan. Organisasi HAM juga akan marah. Proses pengadilan terhadap Saddam Hussein di Bagdad dianggap sebagai contoh buruk karena merupakan sebuah shame trial.” 
Pada akhirnya, ICC setuju apabila Saif akan diadili di Libya, Apalagi mengingat ICC memiliki hak untuk mengadili Saif al-Islam hanya jika Libya tidak ingin atau tidak dapat melakukannya. Namun ICC tetap ingin memastikan adanya kerja sama. Ketika warga Libya memutuskan menegakkan keadilan, ICC akan membantu mereka untuk melakukannya, sesuai sistem yang berlaku. ICC akan ikut dalam pengawasan pengadilan Saif di Libya.