Minggu, 18 Maret 2012

Contoh paper mata Kuliah Hukum Hak Asasi Manusia

“MEKANISME PERADILAN YANG SESUAI HAK ASASI MANUSIA TERKAIT PROSES PERADILAN SAIF AL ISLAM KHADAFI”

Latar Belakang:
Hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki manusia semata-mata karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, semata-mata berdasarkan martabatnya sebagai manusia.[1] Pengakuan terhadap HAM bagi setiap individu sebenarnya telah dihayati dan dipahami sejak dahulu. Penghormatan terhadap HAM ditentukan pada pelaksanaan HAM oleh para penguasa negara. Sejarah mencatat bahwa pada masa pemerintahan monarkhi absolut di Eropa banyak terjadi pembatasan dan pelanggaran HAM, hal tersebut bertujuan untuk melanggengkan kekuasaan raja-raja yang pada waktu itu menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Menurut konsep kontrak sosialnya thomas Hobbes, adalah sebagai bentuk penyerahan seluruh kekuasaan dan kemerdekaan individu kepada negara untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.[2]
Pemajuan dan perlindungan HAM berkembang dengan cepat bersamaan dengan perkembangan yang melaju hubungan antar bangsa dan proliferasi organisasi-organisasi regional dan multilateral global.[3] Permasalahan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat bukanlah suatu hal yang baru. Sejak Peradilan Nuremberg 1946 dan Peradilan Tokyo telah jelas bahwa pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh aktor Negara atau pejabat Negara yang terbukti kesalahannya pun dapat ditindak dan diadili melalui pengadilan.[4]Tonggak sejarah peradilan HAM internasional adalah peradilan Nuremberg yang dilakukan terhadap Hermann W. Goering (Pejabat Nazi) yang terjadi pada tahun 1946. Selain menegaskan prinsip pertanggungjawaban individu, Mahkamah Nuremberg juga memperkenalkan kategori-kategori kejahatan yang relatif baru, seperti kejahatan terhadap perdamaian (Crime against peace), kejahatan perang (War Crime), kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime against humanity). Puncaknya pada saat Mahkamah Pidana Internasional yang disebut International Criminal Court (ICC) yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2002.[5]
Dewasa ini pelanggaran terhadap hak asasi manusia, masih sering terjadi meskipun sering didengung-dengungkan perlindungan penegakan hak asasi mausia di seluruh dunia yang ditandai dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), seperti kasus yang terjadi baru-baru ini di Libya oleh rezim Khadafi yang juga dibantu oleh puteranya Saif Al-Islam yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Khadafi bersama putranya Saif al Islam diyakini bertanggung jawab atas terjadinya perkosaan massal, dan telah melakukan pelanggaran HAM berat selama perang saudara di negara tersebut.[6] Lantas bagaimana mekanisme penyelesaian kasus ini melalui pengadilan yang tetap mewujudkan peradilan yang adil bagi semua pihak termasuk tersangka Saif Al-Islam sendiri. Hal tersebutlah yang akan dibahas dalam paper ini.

Rumusan Masalah:
            Rumusan masalah yang akan dibahas dalam paper ini adalah:
1.      Pengadilan mana yang berwenang mengadili Kasus Saif Al-Islam?
2.      Bagaimana pengadilan yang sesuai dengan Hak Asasi Manusia itu, dan bagaimana jika dikaitkan dengan kasus Saif Al-Islam Khadafi?
Analisis
Pengadilan Yang Berwenang Mengadili Kasus Saif Al-Islam
Mekanisme penyelesaian terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM mengacu kepada prinsip exhaustion of local remedies, yaitu melalui mekanisme pengadilan nasional (Pengadilan HAM), ada yang bersifat permanen dan ada yang bersifat ad hoc sesuai perundang-undangan negara yang bersangkutan. Namun jika negara yang bersangkutan tidak mampu untuk mengadili pelanggaran HAM dengan hukum nasionalnya, maka dunia internasional melalui Mahkamah Pidana Internasional (Internasional Criminal Court/ICC) pelaku pelanggaran HAM dapat diadili.[7] Berdasarkan prinsip tersebut harusnya yang berwenang untuk mengadili kasus ini adalah pengadilan lokal Libya sendiri.Menurut Menteri Kehakiman sementara Libya Mohammed al-Allagui Mengadili Saif adalah tanggung jawab khusus dari pengadilan Libia. Itu merupakan hak prerogatif pengadilan Libia. Itu berkaitan dengan kedaulatan kami atas wilayah dan warga kami”.[8] Hal ini merupakan bentuk adanya kemauan dari Pemerintah Libya dalam mengadili kasus ini.
Keadaan Negara Libya yang sedang dalam masa transisi pasca tergulingnya rezim Khadafi dirasa belum mampu oleh kalangan internasional untuk melaksanakan pengadilan untuk menangani kasus tersebut, dengan alasan tersebutlah maka ICC merasa perlu untuk menyelesaikannya. Dalam masyarakat yang pemerintahannya sedang mengalami transisi ( misalnya dari otoritarianisme ke demokrasi) , penegasan kembali tentang nilai-nilai sering kali diperlukan. Dalam kondisi tersebut masyarakat yang telah terkoyak oleh pelanggaran HAM dan kejahatan serius, yang tidak puas melihat pelaku pelanggaran HAM dan kejahatan serius tidak dijatuhi pidana yang setimpal mungkin akan menempuh cara kekerasan untuk menggantikan fungsi retributif hukum pidana.[9] Cara inilah yang ditakutkan oleh ICC, sehingga merasa penting untuk menyelenggarakan peradilan yang adil bagi Saif sendiri agar tidak terulang kasus seperti ayahnya, Muammar Khadafi yang mati ditangan pemberontak.
Di samping negara peserta, ICC juga dapat melaksanakan yurisdiksinya terhadap kasus yang diserahkan oleh Dewan Keamanan dalam rangka BABVII Piagam Dewan Keamanan.[10] Hal inilah yang terjadi pada kasus Libya, Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi yang memberikan mandat agar kasus ini diselesaikan oleh ICC, Namun demikian berkaitan dengan Dewan Keamanan ini ternyata Statuta  memberikan kewenangan pada Dewan Keamanan untuk meminta ICC menunda pelaksanaan yurisdiksinya.
Kejahatan yang dilakukan oleh Saif adalah masuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pemerkosaan massal[11] yang merupakan  salah satu dari empat Pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran HAM berat lainnya ialah Genosida, Kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.[12]
Pengadilan yang Sesuai dengan Hak Asasi Manusia Dikaitkan dengan Kasus Saif Al-Islam
Bagaimanapun tindakan yang dilakukan oleh manusia apakah ia seorang yang penjahat sekalipun ia tetap mempunyai hak asasi manusia yang wajib dihormati dan dilindungi. Pasal 1 dan 2 Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia, menegaskan hal tersebut.[13] Deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi pengembangan hak-hak asasi manusia, sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa.[14] Hak atas peradilan yang adil telah diatur dalam prinsip-prinsip peradilan yang adil[15] baik sejak proses penangkapan, penahanan, peradilan.
Hak  atas  peradilan  yang  adil  merupakan  komponen inti dari perjanjian internasional tentang HAM, seperti Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik (Sipol), Konvensi HAM Eropa, dan Konvensi Negera-negara  Di  Benua Amerika  (Amerika)  Tentang  HAM (Pakta San Jose). Pasal  14  Kovenan  Internasional  Hak  Sipol  dan  pasal 6 Konvensi HAM Eropa mengatur ruang lingkup Hak atas  peradilan  yang  adil.  Pada  intinya,  Kovenan  Hak Sipol  dan  Konvensi  HAM  Eropa  mengatur  ruang lingkup yang sama atas hak atas peradilan yang adil.[16]
Peradilan yang adil terkait kasus Saif harus diterapkan demi keadilan asasi dari Saif sendiri melalui penerapan prinsip-prinsip peradilan yang adil tersebut. Jika akhirnya kasus ini diadili baik melalui Pengadilan Linya sendiri ataupun melalui ICC, keduanya harus menjamin adanya peradilan yang adil bagi Saif yang juga tetap melindungi Hak Asasinya sebagai manusia. Jangan sampai terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi tersangka oleh aparat penekgak hukum selanjutnya akan menimbulkan miscarriage of justice (kegagalan dalam menegakan keadilan). Dimana penegak hukum yang mempunyai kuasa dan wewenang untuk mengupayakan tercapainya keadilan, ternyata menggunakan kuasa dan wewenang yang ada padanya justru untuk memberikan ketidak adilan.[17]
Kesimpulan:
Peradilan yang berwenang menangani kasus Saif Al-Islam jika mendasar pada prinsip exhaustion local remedies adalah Pengadilan Libya, tetapi jika dilihat dari keadaan Negara Libya sendiri yang sedang berada pada masa transisi sebaiknya memakai  ICC, hal ini untuk mewujudkan adanya peradilan yang adil,. Penyelesaian kasus ini melalui ICC juga didasari adanya resolusi dari Dewan Keamanan PBB yang memberikan mandat agar kasus ini diselesaikan melalui ICC.
Pengadilan yang sesuai dengan hak asasi manusia dikaitkan dengan kasus Saif Al-Islam adalah pengadilan yang menggunakan prinsip-prinsip peradilan yang adil, apakah nantinya kasus ini akan diselesaikan melalui Pengadilan lokal Libya, ataukah ICC harus menjamin adanya peradilan yang adil dan sesuai dengan hak asasi manusia dari terdakwa.







[1] Rhona K.M. Smith dkk, 2008.Hukum dan Hak Asasi Manusia,Jogjakarta: Pusat Studi HAM UII , hlm. 11
[2] Mince Hamzah Proses penegakan Hak Asasi Manusia, sebuah akumulasi ketidak adilan tersedia dalam http://politik.kompasiana.com/2010/02/27/proses-penegakan-hak-asasi-manusia/

[3] Boer Mauna.2003.Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.Bandung: Alumni hlm.597
[4] Jawahir Thontowi. 2004. Pelanggaran HAM Berat (Jurnal Hukum, Vol.14, No.2, Juli 2004). Yogyakarta: UII.
[5] loc.cit
[7] Ukuran ketidakmampuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 17 ayat (3) Statuta Roma adalah:1. Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana;2. Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dibenarkan;3. Proses peradilan tidak dilaksanakan secara merdeka atau tidak memihak;4. Apabila ICC mempertimbangkan telah terjadi kegagalan secara menyeluruh ata substansial tentang ketiadaan/ketidaksediaan sistem peradilan nasional untuk menemukan tersangka atau bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu menyelenggarakan proses peradilan.

[8]Data diambil dari Saif al-Islam Gaddafi akan diadili di Libia 22 November 2011 tersedia pada http://www.bbc.co.uk/indonesia/dunia/2011/11/111122_saif.shtml

[9]  Arie Siswanto.2005.Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia. Hlm.13
[10] Sefriani.2007.Yurisdiksi ICC terhadap Negara non Anggota Statuta Roma 1998 .Jurnal Hukum No.2 Vol.14.UII
[11]pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan tujuan ::(a) Pembunuhan;(b) Pemusnahan(c) Perbudakan;(d) Pengusiran atau pemindahan penduduk(e) Perampasan kemerdekaan / perampasan kebebasan fisik lain(f) Menganiaya;(g) Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan seksual lainnya ;(h) Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan, etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional(i) Penghilangan seseorang secara paksa;(j) Kejahatan apartheid;(k) Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental ataupun kesehatan fisiknya.
[12]  http://id.wikipedia.org/wiki/Kejahatan_kemanusiaan
[13] Pasal 1 dan 2 DUHAM, bahwa semua orang dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan sebagaimana yang ditetapkan oleh Deklarasi tanpa membeda-bedakan baik dari segi ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, maupun yang lain, asal-usul kebangsaan atau sosial, hak milik, kelahiran, atau kedudukan yang lain.
[14] Boer Mauna.2003.Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global.Bandung: Alumni hlm.601

[15] Prinsip-Prinsip Fair Trial yang wajib diketahui setiap orang: 1). Hak atas kemerdekaan dan keamanan pribadi serta larangan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang; 2) Hak untuk mengetahui alasan penangkapan dan penahanan; 3) Hak atas bantuan hukum; 4) Hak untuk menguji penangkapan dan penahanan; 5) Asas praduga tidak bersalah (presumtion of innocence); 6) Hak untuk diajukan dengan segera ke hadapan hakim dan persidangan; 7) Asas persamaan dimuka hukum (equality before the law); 8) Larangan atas penyiksaan; 9) Hak atas Pemeriksaan yang adil dan terbuka; 10) Hak untuk segera diberitahukan bentuk dan penyebab tuduhan pidana diberikan; 11) Hak untuk mendapatkan waktu dan fasilitas yang cukup untuk mempersiapkan pembelaan; 12) Hak untuk membela dirinya sendiri atau melalui penasehat hukum; 13) Hak untuk memeriksa para saksi yang memberatkan dengan porsi yang sama; 14) Hak untuk mendapatkan penerjemah secara gratis; 15) Larangan untuk memaksa seseorang memberikan keterangan yang akan memberatkan dirinya sendiri tersedia pada http://www.bantuanhukum.info/?page=detail&cat=B11&sub=B1101&t=2

[16]Uli Parulian Sihombing .2008. Hak Atas Peradilan Yang Adil Yurisprudensi Pengadilan HAM Eropa, Komite HAM PBB Dan Pengadilan HAM Inter-Amerika.Jakarta: The Indonesian Legal Resource Center
[17] O.C. Kaligis. Perlindungan Hukum Atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana, Alumni, Bandung : 2006, hlm. 12.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar